Monday, January 3, 2011

Being Stay Home Mom or Working Mom/ Menjadi Ibu Rumahan atau Bekerja



Hari ini, sewaktu online di jejaring FB, saya memberikan komen di wall teman saya. Setelah comment saya muncul, ada comment dari temannya teman saya yg lain, isinya : "Comment nya kayak note -,-"
Hehe..apa dengan tulisan seperti itu saya langsung marah?oh tentu tidaaakk *copycat to sule* :p 
Mau tahu, apa sih sebenarnya sehingga meluncurlah comment dari saya yg bunyinya : "
klo gitu gak usah lah sis, buat apa dong jadi ibu dan istri?kami" disini tugasnya jg banyak,anak lebih dari 1, tapi mandiri..^-^ beginilah klo hidup di negri org,tp alhamdulillah sekali jadi berarti hidup ini..kalau pembantu diserahin semua ...sampai mengurus anak,masak dll..tugas mu diranjang doang dong?xixixi mantabs..tp klo eyke sih mmg ga mau,lebih baik berhenti dr kantor deh,,masak buat suami tercinta dgn menu kesukaannya,melayani sepulangnya suami dr luar, dgn dandan yg cantik,bau harum,service di ranjang yg memuaskan,klo masalah cuci baju,dah ada washing machine kan,gak perlu pake tangan,hhmm nikmat bener deh..spt ketika Fathima ra,mengeluh kepada ayahnya Rasulullah SAW,untuk memberinya seorang budak untuk membantunya didapur dan pekerjaan rumah lainnya,ttp Rasulullah menjawab...bersabarlah,bacalah takbir34 kali, tasbih 33 kali, dan tahmid 33 kali, insyaallah pekerjaan tdk akan memudharatkanmu :) semoga dimudahkan ya! "
Tidak lain tidak bukan tentang "pembantu rumah tangga". Padahal, baru saja sekitar seminggu yg lalu teman yg lain menulis di NOTES FB tentang "Negara Pembantu", ya..kebanyakan ,...most of people di negara saya, mempunyai pembantu itu seperti wajib hukumnya LOL.Entah kenapa, saya tidak tertarik, saya utuh ikhlas mengabdi untuk suami dan anak" saya. Jadi, inshAllah saya kesampingkan ego saya untuk kembali bekerja misalkan, atau mengeluh karena capeknya rutinitas pekerjaan rumah tangga.
Alhamdulillah, suami saya tidak mengharuskan saya untuk bekerja. Dia pernah mengatakan waktu itu kepada saya " kamu menikah bukan untuk saya jadikan tulang punggung saya, saya hanya ingin kamu menjadi ibu dari anak" saya yang mengajarinya dirumah, bukan untuk mencari uang,karena saya adalah kepala rumah tangga,jadi itu kewajiban saya membiayai kalian semua ". Memang, mungkin tidak semua kepala rumah tangga berpikiran seperti itu. Secara materi, alhamdulillah kami tidak menginginkan sesuatu yang "wah/ lux", suami pun seorang student. Tapi niat kami semua inshAllah karena ibadah dan sayangnya kepada keluarga. Alhamdulillah dan inshAllah Allah selalu memberikan nikmat Nya kepada kami semua amiiiinnn Ya Rabb ^_^
So, being stay home mommy? why not? dirumahpun , kita masih bisa bekerja (jikalau berkeinginan membantu suami atau ekonomi keluarga kurang). Apa saja sih yg bisa kita lakukan dirumah?hmm..banyak!banyaaakkk sekali!!! Saya yakin, kita semua mempunyai keahlian" yg beraneka ragam, seperti memasak, menjahit, mengajar, bisnis online etc. Tapikan, masak belajar jauh", dan meraih gelar sarjana tinggi hanya menjadi ibu RT?ngajar di rumah?buka bisnis online?atau membuat masakan; kue dll u/ dijual?menjahit, merajut u/ dijual? MashAllah..alhamdulillah sisters..semua itu sungguh nikmat loh ^-^. Ada kepuasan tersendiri, disaat menjahit pesanan baju seseorang misalnya, puaaasss deh hasilnya dinikmati orang lain, dan disukai pula..hmm Tabarakallah..
Tetapi, saya menghargai ibu" yg juga bekerja dan bisa mendidik anak"nya dengan benar. Serta menjadi istri yg soleha tentunya, kebanggan suami tercinta. Disini akan saya kutip cerita dari cerita islami 


★ MANDIKAN AQ BUNDA... ! ★



Dewi adalah sahabat-q, seorang mahasiswi yang berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas, meraih yang terbaik di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not to be the best… ?”, begitu ucapan yang kerap kali terdengar dari mulutnya, mengutip ucapan seorang mantan presiden Amerika.

Ketika kampus mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht-Belanda, Dewi termasuk salah satunya. Setelah menyelesaikan kuliahnya, Dewi mendapat pendamping hidup yang “selevel”, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Tak lama berselang lahirlah Bayu, buah cinta mereka, anak pertamanya tersebut lahir ketika Dewi diangkat manjadi staf diplomat, bertepatan dengan suaminya meraih PhD. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan mereka.

Ketika Bayu, berusia 6 bulan, kesibukan Dewi semakin menggila. Bak seekor burung garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Sebagai seorang sahabat setulusnya saya pernah bertanya padanya, “Tidakkah si Bayu masih terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal oleh ibundanya… ?” Dengan sigap Dewi menjawab, “Oh, aq sudah mengantisipasi segala sesuatunya dengan sempurna”. “Everything is OK! Don’t worry. Everything is under control koq… !” begitulah selalu ucapannya, penuh percaya diri.

Ucapannya itu memang betul-betul ia buktikan. Perawatan anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter termahal. Dewi tinggal mengontrol jadwal Bayu lewat telepon. Pada akhirnya Bayu tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas mandiri dan mudah mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang betapa hebatnya ibu-bapaknya. Tentang gelar Phd dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang berlimpah. “Contohlah ayah-bundamu Bayu, kalau Bayu besar nanti jadilah seperti Bunda”. Begitu selalu nenek Bayu, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Bayu berusia 5 tahun, neneknya menyampaikan kepada Dewi kalau Bayu minta seorang adik untuk bisa menjadi teman bermainnya di rumah apabila ia merasa kesepian. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Dewi dan suaminya kembali meminta pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Bayu. Lagi-lagi bocah kecil inipun mau ”memahami” orangtuanya.

Dengan bangga Dewi mengatakan bahwa kamu memang anak hebat, buktinya, kata Dewi, kamu tak lagi merengek minta adik. Bayu, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek dan sangat mandiri. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Dewi pada-q, Bayu selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Dewi sering memanggilnya malaikat kecilku.
Sungguh keluarga yang bahagia, piker-q. Meski kedua orangtuanya super sibuk, namun Bayu tetap tumbuh dengan penuh cinta dari orang tuanya. Diam-diam, saya jadi sangat iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Dewi berangkat ke kantor, entah mengapa Bayu menolak dimandikan oleh baby sitternya. Bayu ingin pagi ini dimandikan oleh Bundanya,”Bunda aq ingin mandi sama bunda…please…please bunda”, pinta Bayu dengan mengiba-iba penuh harap.
Karuan saja Dewi, yang detik demi detik waktunya sangat diperhitungkan merasa gusar dengan permintaan anaknya. Ia dengan tegas menolak permintaan Bayu, sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Bayu agar mau mandi dengan baby sitternya. Lagi-lagi, Bayu dengan penuh pengertian mau menurutinya, meski wajahnya cemberut.

Peristiwa ini terus berulang sampai hampir sepekan. “Bunda, mandikan aq… !” Ayo dong bunda mandikan aq sekali ini saja… ?” kian lama suara Bayu semakin penuh tekanan. Tapi toh, Dewi dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Bayu sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Bayu bisa ditinggal juga dan mandi bersama Mbanya.

Sampai suatu sore, Dewi dikejutkan oleh telpon dari sang baby sitter, “Bu, hari ini Bayu panas tinggi dan kejang-kejang. Sekarang sedang di periksa di ruang emergency”. Ketika diberitahu soal Bayu, Dewi sedang meresmikan kantor barunya di Medan. Setelah tiba di Jakarta, Dewi langsung ngebut ke UGD. Tapi sayang…terlambat sudah…Allah sudah punya rencana lain. Bayu, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya. Terlihat Dewi mengalami shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah untuk memandikan putranya, setelah bebarapa hari lalu Bayu mulai menuntut ia untuk memandikannya, Dewi pernah berjanji pada anaknya untuk suatu saat memandikannya sendiri jika ia tidak sedang ada urusan yang sangat penting. Dan siang itu, janji Dewi akhirnya terpenuhi juga, meskipun setelah tubuh si kecil terbujur kaku.

Ditengah para tetangga yang sedang melayat, terdengar suara Dewi dengan nada yang bergetar berkata, “Ini Bunda Nak….hari ini Bunda mandikan Bayu yaa…sayang… ! akhirnya Bunda penuhi juga janji Bunda ya Nak..”. Lalu segera saja satu demi satu orang-orang yang melayat dan berada di dekatnya tersebut berusaha untuk menyingkir dari sampingnya, sambil tak kuasa untuk menahan tangis mereka.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, para pengiring jenazah masih berdiri mematung di sisi pusara sang Malaikat Kecil. Berkali-kali Dewi, sahabatku yang tegar itu, berkata kepada rekan-rekan disekitanya, “Inikan sudah takdir, yaa kan… !” Sama saja, aq di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya di panggil, ya dia pergi juga, iya kan… ?”

Saya yang saat itu tepat berada di sampingnya diam saja. Seolah-olah Dewi tak merasa berduka dengan kepergian anaknya dan sepertinya ia juga tidak perlu hiburan dari orang lain. Sementara di sebelah kanannya, suaminya berdiri mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pucat pasi dengan bibir bergetar tak kuasa menahan air mata yang mulai meleleh membasahi pipinya. Sambil menatap pusara anaknya, terdengar lagi suara Dewi berujar, “Inilah konsekuensi sebuah pilihan… !” lanjut Dewi, tetap mencoba untuk tegar dan kuat.

Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja yang menusuk hidung hingga ke tulang sumsum. Tak lama setelah itu tanpa diduga-duga tiba-tiba saja Dewi jatuh berlutut, lalu membantingkan dirinya ke tanah tepat di atas pusara anaknya sambil berteriak-teriak histeris. “Bayu maafkan Bunda yaa sayaang… !, ampuni bundamu yaa nak… ?”, serunya berulang-ulang sambil membenturkan kepalanya ketanah, dan segera terdengar tangis yang meledak-ledak dengan penuh berurai air mata membanjiri tanah pusara putra tercintanya yang kini telah pergi untuk selama-lamanya.

Sepanjang saya mengenalnya, rasanya baru kali ini saya menyaksikan Dewi menangis dengan histeris seperti ini. Lalu terdengar lagi Dewi berteriak-teriak histeris, “Bangunlah Bayu sayaaang-q….bangun Bayu cinta-q, ayo bangun nak… !”, pintanya berulang-ulang, “Bunda mau mandikan kamu sayang….tolong beri kesempatan Bunda sekali saja Nak….sekali ini saja, Bayu..anak-q… ?” Dewi merintih mengiba-iba sambil kembali membenturkan kepalanya berkali-kali ke tanah lalu ia peluki dan ciumi pusara anaknya bak orang yang sudah hilang ingatan. Air matanya mengalir semakin deras membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Bayu.

Senja semakin senyap, aroma bunga kamboja semakin tercium kuat menusuk hidung membuat seluruh bulu kuduk kami berdiri menyaksikan peristiwa yang menyayat hati ini…tapi apa hendak di kata, nasi sudah menjadi bubur. Bayu tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya dimandikan oleh orang tuanya karena mereka merasa bahwa banyak hal yang jauh lebih penting daripada hanya sekedar memandikan seorang anak.

●●● Sumber : Cerita Islami ●●● 

No comments: